Metafisika
Descartes, Dkk.
Metode Descartes dalam metafisika dimulai dari pencariannya atas segala sesuatu yang 'jelas' dan 'berbeda', dan dari sinilah dia memulai pemikiran deduktifnya. Untuk memulai dengan pijakan yang kuat dia memperkenalkan 'metode keraguan', keraguan yang akan menjadi titik awal datangnya kepastian. Keraguan ini berbeda dengan para skeptis yang ragu untuk tetap ragu. Premis awal yang disusun oleh Descartes adalah "Saya ragu" yang kemudian dilanjutkan dengan "Ketika seseorang ragu dia pasti berpikir". Dan dari sana muncul proposisi "Ketika saya berpikir maka saya ada" atau 'Cogito Ergo Sum'. Inilah yang menjadi landasan dari filsafat Descartes untuk menyatakan keberadaan Tuhan atau realitas primer (res cogitans).
Dalam membuktikan keberadaan Tuhan, Descartes menggunakan tiga argument dasar yaitu: "Cogito" telah memberikan kesadaran pada diriku sendiri atas keterbatasan diri dan ketidaksempurnaan keberadaan. Ini membuktikan bahwa aku tidak memberikan eksistensi pada diriku sendiri, dalam permasalahan tersebut, aku telah menyerahkan diriku pada sifat yang sempurna yang tidak kumiliki, dimana menjadi subyek yang diragukan. "Aku memiliki Ide kesempurnaan : jika aku tidak memilikinya, aku tidak akan pernah tahu bahwa aku tidak sempurna. Sekarang darimanakan datangnya ide kesempurnaan tersebut ? tidak dari diriku sendiri, karena aku tidak sempurna dan kesempurnaan tidak datang dari yang tidak sempurna.
Jadi datangnya dari Sesuatu yang Sempurna, yaitu Tuhan. "Analisis daqri ide kesempurnaan melibatkan eksistensi dari Keberadaan yang Sempurna, bagai sebuah lembah yang termasuk dalam ide sebuah gunung,maka eksistensi juga termasuk dalam ide kesempurnaan tersebut.Hal ini merupakan pembeda antara filsafat sebelum Descartes atau filsafat klasik dan filsafat modern. Dari Descartes filsafat dituntut dari 'ilmu keberadaan' (science of being) menuju 'ilmu pemikiran' (science of thought/epistimologi). Di mana filsafat ini lebih di dalami oleh Kant dan filsuf idealisme lainnya. Karena pijakannya yang menggunakan rasio daripada pengalaman empiris maka Descartes dikenal sebagai filsuf rasionalis daratan bersama dengan Spinoza, dan Leibniz. Sementara tidak jauh dari jamannya dan tempatnya muncul tiga filsuf yang dikenal sebagai empiris-anglo saxon yaitu : Locke, Berkeley, dan Hume.
Dunia menurut Descartes mempunyai karakterisasi sebagai perpanjangan (res extensa), yang tidak terbatas. Dalam perpanjangan ini, kekuatan Tuhan menempati kekuatan atau gaya dan pergerakan, yang ditentukan oleh prinsip kausalitas absolut. "Dunia adalah sebuah mesin besar", dunia anorganik, tumbuhan, binatang, dan bahkan manusia, sepanjang tubuhnya yang menjadi perhatian, adalah mesin yang diperintah oleh hukum pergerakan kausalitas. Kritik terhadap Filsafat Descartes Filsafat rasionalis Descartes yang mengandalkan rasionalitas mengabaikan pengalaman empiris sebagai dasar kebenaran, hal inilah yang ditolak oleh filsuf empirisme, yang pada waktu hampir bersamaan tumbuh di Inggris.
Filsafat empirisme mengatakan bahwa bukanlah rasio yang menyusun kebenaran, akan tetapi pengalamanlah yang nantinya membawa manusia dalam kebenaran. John Locke, salah satu filsuf empirisme mengatakan bahwa manusia itu seperti tabula rasa yaitu kertas putih yang nantinya akan ditulisi dengan pengalamannya di dunia nyata. Dan inilah yang bertolak belakang dengan filsafat rasionalisme terutama Descartes. Setelah empirisme kritik timbul dari Spinoza, salah satu filsuf rasionalis yang berada di Belanda.
Dengan pantheismenya dia membantah dualisme antara pemikiran dan tubuh yang dikemukakan oleh Descartes. Kritik yang sangat tajam justru disampaikan oleh Kant dalam karyanya "Critique of Pure Reason", di sini kant mengatakan bahwa kebenaran tidak dating dari rasio murni atau empiris murni melainkan gabungan dari keduanya yang dibedakan atas a priori dan a posteriori. Beberapa yang masih menjadi perdebatan tentang filsafat Descartes adalah metodenya yang meragukan segala sesuatu. Dari keragu-raguannya yang meragukan segala hal bahkan dia hamper mengatakan bahwa semuanya salah, dia mengajukan premis di mana dia memiliki ide tentang Tuhan sebagai keberadaan sempurna. Problematika ini sampai sekarang masih menjadi perdebatan hangat. Yang menjadi sorotan adalah inkonsistensi yang dilakukan Descartes dalam metodenya.
Ketika menyatakan bahwa segalanya diragukan, pada saat yang sama dia memakai anggapan-anggapan rasio umum dan secara terus-menerus dia pergunakan. Seperti dalam 'Cogito Ergo Sum' yang menggunakan kontradiksi ini, dimana Descartes menempatkan 'berpikir' dan 'ragu' sebagai bukti keberadaannya atau eksistensinya. Karena pada pokoknya Descartes berpikiran bahwa tidak mungkin berpikirdan tidak berpikir atau eksis dan tidak eksis dapat terjadi bersamaan. Seharusnya ketika dia meragukan segalanya berpikir dan tidak berpikir atau eksis dan tidak eksis bisa saja terjadi dalam waktu yang bersamaan. Sehingga pernyataan nya tentang 'Cogito Ergo Sum' tidak memiliki nilai obyektif yang real.
Kontradiksi pada pemikiran Descartes ini berakibat munculnya hasil yang ganda dalam setiap karya filsafatnya. Seperti dalam pembuktian keberadaanTuhan, sekaligus Descartes membuktikan bahwa eksistensi Tuhan itu sendiri tidak mungkin. Karena dengan metode keraguan yang menjadi landasan berpikirnya, maka seluruh karya filsafatnya diragukan secara fundamental dan inkonsisten. Ketertarikannya pada alat mekanik pada waktu itu membuat Descartes sangat terinspirasi oleh cara kerja alat-alat tersebut sehingga dia pun mengatakan bahwa dunia merupakan sebuah mesin besar yang bergerak di bawah hukum-hukum pergerakan kausalitas universal. Efek dari filsafatnya ini adalah termekanisasikannya seluruh aspek hidup manusia yang kemudian hari dikritik oleh para pemikir postmodern seperti Foucault, Lyotard, dan Marcuse. Akan tetapi dari semua kelemahan yang ditemukan dalam karyanya tersebut, Descartes merupakan pionir dalam filsafat modern yang berjasa bagi tumbuh berkembangnya ilmu pengetahuan dan filsafat modern.
Aristoteles Teori Pengetahuan Pengetahuan (knowledge atau ilmu )adalah bagian yang esensial aksiden manusia, karena pengetahuan adalah buah dari "berpikir ". Berpikir ( atau natiqiyyah) adalah sebagai differentia ( atau fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya,yaitu hewan. Dan sebenarnya kehebatan manusia dan " barangkali " keunggulannya dari spesies-spesies lainnya karena pengetahuannya. Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya. Lalu apa yang telah dan ingin diketahui oleh manusia ? Bagaimana manusia berpengetahuan ? Apa yang ia lakukan dan dengan apa agar memiliki pengetahuan ? Kemudian apakah yang ia ketahui itu benar ? Dan apa yang mejadi tolak ukur kebenaran ? Pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya sederhana sekali karena pertanyaan-pertanyaan ini sudah terjawab dengan sendirinya ketika manusia sudah masuk ke alam realita. Namun ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu maka tidak menjadi sederhana lagi. Masalah-masalah itu akan berubah dari sesuatu yang mudah menjadi sesuatu yang sulit, dari sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu yang rumit (complicated).
Oleh karena masalah-masalah itu dibawa ke dalam pembedahan ilmu, maka ia menjadi sesuatu yang diperselisihkan dan diperdebatkan. Perselisihan tentangnya menyebabkan perbedaan dalam cara memandang dunia (world view), sehingga pada gilirannya muncul perbedaan ideologi. Dan itulah realita dari kehidupan manusia yang memiliki aneka ragam sudut pandang dan ideologi.
Atas dasar itu, manusia -paling tidak yang menganggap penting masalah-masalah diatas- perlu membahas ilmu dan pengetahuan itu sendiri. Dalam hal ini, ilmu tidak lagi menjadi satu aktivitas otak, yaitu menerima, merekam, dan mengolah apa yang ada dalam benak, tetapi ia menjadi objek. Para pemikir menyebut ilmu tentang ilmu ini dengan epistemology (teori pengetahuan atau nadzariyyah al ma'rifah). Epistemologi menjadi sebuah kajian, sebenarnya, belum terlalu lama, yaitu sejak tiga abad yang lalu dan berkembang di dunia barat. Sementara di dunia Islam kajian tentang ini sebagai sebuah ilmu tersendiri belum populer. Belakangan beberapa pemikir dan filusuf Islam menuliskan buku tentang epistemologi secara khusus seperti, Mutahhari dengan bukunya "Syinakht", Muhammad Baqir Shadr dengan "Falsafatuna"-nya, Jawad Amuli dengan "Nadzariyyah al Ma'rifah"-nyadan Ja'far Subhani dengan "Nadzariyyah al Ma'rifah"-nya. Sebelumnya, pembahasan tentang epistemologi di bahas di sela-sela buku-buku filsafat klasik dan mantiq. Mereka -barat- sangat menaruh perhatian yang besar terhadap kajian ini, karena situasi dan kondisi yang mereka hadapi.
Dunia barat (baca: Eropa) mengalami ledakan kebebasan berekspresi dalam segala hal yang sangat besar dan hebat yang merubah cara berpikir mereka. Mereka telah bebas dari trauma intelektual. Adalah Renaissance yang paling berjasa bagi mereka dalam menutup abad kegelapan Eropa yang panjang dan membuka lembaran sejarah mereka yang baru. Supremasi dan dominasi gereja atas ilmu pengetahuan telah hancur. Sebagai akibat dari runtuhnya gereja yang memandang dunia dangan pandangan yang apriori atas nama Tuhan dan agama, mereka mencoba mencari alternatif lain dalam memandang dunia (baca: realita). Maka dari itu, bemunculan berbagai aliran pemikiran yang bergantian dan tidak sedikit yang kontradiktif. Namun secara garis besar aliran-aliran yang sempat muncul adalah ada dua, yakni aliran rasionalis dan empiris. Dan sebagian darinya telah lenyap.
Dari kaum rasionalis muncul Descartes, Imanuel Kant, Hegel dan lain-lain. Dan dari kaum empiris adalah Auguste Comte dengan Positivismenya, Wiliam James dengan Pragmatismenya, Francis Bacon dengan Sensualismenya. Berbeda dengan barat, di dunia Islam tidak terjadi ledakan seperti itu, karena dalam Islam agama dan ilmu pengetahuan berjalan seiring dan berdampingan, meskipun terdapat beberapa friksi antara agama dan ilmu, tetapi itu sangat sedikit dan terjadi karena interpretasi dari teks agama yang terlalu dini. Namun secara keseluruhan agama dan ilmu saling mendukung. Malah tidak sedikit dari ulama Islam, juga sebagai ilmuwan seperti : Ibnu Sina, al Farabi, Jabir bin al Hayyan, al Khawarizmi, Syekh al Thusi dan yang lainnya. Oleh karena itu, ledakan intelektual dalam Islam tidak terjadi. Perkembangan ilmu di dunia Islam relatif stabil dan tenang. Filsafat
Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang telah di-Arabkan. Kata ini pengetahuan. Konon yang pertama kali menggunakan kata "philoshop" adalah Socrates. (dan masih konon juga) Dia menggunakan kata ini karena dua alasan, Pertama, kerendah-hatian dia. Meskipun ia seorang yang pandai dan luas pengetahuannya, dia tidak mau menyebut dirinya sebagai orang yang pandai. Tetapi dia memilih untuk disebut pecinta pengetahuan. Kedua, pada waktu itu, di Yunani terdapat beberapa orang yang menganggap diri mereka orang yang pandai (shopis). Mereka pandai bersilat lidah, sehingga apa yang mereka anggap benar adalah benar. Jadi kebenaran tergantung apa yang mereka katakan. Kebenaran yang riil tidak ada. Akhirnya manusia waktu itu terjangkit skeptis, artinya mereka ragu-ragu terhadap segala sesuatu, karena apa yang mereka anggap benar belum tentu benar dan kebenaran tergantung orang-orang shopis. Dalam keadaan seperti ini, Socrates merasa perlu membangun kepercayaan kepada manusia bahwa kebenaran itu ada dan, tidak harus tergantung kepada kaum shopis. Dia berhasil dalam ,upayanya itu dan mengalahkan kaum shopis. Meski dia berhasil, ia tidak ingin dikatakan pandai, tetapi ia memilih kata philoshop sebagai sindiran kepada mereka yang sok pandai. Kemudian perjuangannya dilanjutkan oleh Plato, yang dikembangkan lebih jauh oleh Aristoteles.
Aristoteles menyusun kaidah-kaidah berpikir dan berdalil yang kemudian dikenal dengan logika (mantiq) Aristotelian. Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat teoritis mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang ketuhanan dan methafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2) urusa rumah tangga; (3) sosial dan politik. Filusuf adalah orang yang mengetahui semua cabang-cabang ilmu pengetahuan tadi. Mungkinkah Manusia itu Mempunyai Pengetahuan ? Masalah epistemologis yang sejak dahulu dan juga sekarang menjadi bahan kajian adalah, apakah berpengetahuan itu mungkin ? Apakah dunia (baca: realita) bisa diketahui ? Sekilas masalah ini konyol dan menggelikan. Tetapi terdapat beberapa orang yang mengingkari pengetahuan atau meragukan pengetahuan. Misalnya, bapak kaum sophis, Georgias, pernah dikutip darinya sebuah ungkapan berikut, "Segala sesuatu tidak ada. Jika adapun, maka tidak dapat diketahui, atau jika dapat diketahui, maka tidak bisa diinformasikan." Mereka mempunyai beberapa alasan yang cukup kuat ketika berpendapat bahwa pengetahuan sesuatu yang tidak ada atau tidak dapat dipercaya.
Pyrrho salah seorang dari mereka menyebutkan bahwa manusia ketika ingin mengetahui sesuatu menggunakan dua alat yakni, indra dan akal. Indra yang merupakan alat pengetahuan yang paling dasar mempunyai banyak kesalahan, baik indra penglihat, pendengar, peraba, pencium dan perasa. Mereka mengatakan satu indra saja mempunyai kesalahan ratusan. Jika demikian adanya, maka bagaimana pengetahuan lewat indra dapat dipercaya ? Demikian pula halnya dengan akal. Manusia seringkali salah dalam berpikir. Bukti yang paling jelas bahwa di antara para filusuf sendiri terdapat perbedaan yang jelas tidak mungkin semua benar pasti ada yang salah. Maka akalpun tidak dapat dipercaya. Oleh karena alat pengetahuan hanya dua saja dan keduanya mungkin bersalah, maka pengetahuan tidak dapat dipercaya.
Pyrrho ketika berdalil bahwa pengetahuan tidak mungkin karena kasalahan-kesalahan yang indra dan akal, sebenarnya, ia telah mengetahui (baca: meyakini) bahwa pengetahuan tidak mungkin. Dan itu merupakan pengetahuan. Itu pertama. Kedua, ketika ia mengatakan bahwa indra dan akal seringkali bersalah, atau katakan, selalu bersalah, berarti ia mengetahui bahwa indra dan akal itu salah. Dan itu adalah pengetahuan juga. Alasan yang dikemukakan oleh Pyrrho tidak sampai pada kesimpulan bahwa pengetahuan sesuatu yang tidak mungkin. Alasan itu hanya dapat membuktikan bahwa ada kesalahan dalam akal dan indra tetapi tidak semua pengetahuan lewat keduanya salah. Oleh karen itu mesti ada cara agar akal dan indra tidak bersalah. Menurut Ibnu Sina, ada cara lain yang lebih efektif untuk menghadapi mereka, yaitu pukullah mereka. Kalau dia merasakan kesakitan berarti mereka mengetahui adanya sakit (akhir dawa' kay). " Cogito, ergosum "-nya Descartes. Rene Descartes termasuk pemikir yang beraliran rasionalis. Ia cukup berjasa dalam membangkitkan kembali rasionalisme di barat. Muhammad aqir Shadr memasukkannya ke dalam kaum rasionalis.
Ia termasuk pemikir yang pernah mengalami skeptisme akan pengetahuan dan realita, namun ia selamat dan bangkit menjadi seorang yang meyakini realita. Bangunan rasionalnya beranjak dari keraguan atas realita dan pengetahuan. Ia mencari dasar keyakinannya terhadap Tuhan, alam, jiwa dan kota Paris. Dia mendapatkan bahwa yang menjadi dasar atau alat keyakinan dan pengetahuannya adalah indra dan akal. Ternyata keduanya masih perlu didiskusikan, artinya keduanya tidak memberika hal yang pasti dan meyakinkan. Lantas dia berpikir bahwa segala sesuatu bisa diragukan, tetapi ia tidak bisa meragukan akan pikirannya. Dengan kata lain ia meyakini dan mengetahui bahwa dirinya ragu-ragu dan berpikir. Ungkapannya yang populer dan sekaligus fondasi keyakinan dan pengetahuannya adalah " Saya berpikir (baca : ragu-ragu), maka saya ada ". Argumentasinya akan realita menggunakan silogisme kategoris bentuk pertama, namun tanpa menyebutkan premis mayor. Saya berpikir, setiap yang berpikir ada, maka saya ada. Keraguan al Ghazzali
Dari dunia Islam adalah Imam al Ghazzali yang pernah skeptis terhadap realita, namun iapun selamat dan menjadi pemikir besar dalam filsafat dan tashawwuf. Perkataannya yang populer adalah " Keraguan adalah kendaraan yang mengantarkan seseorang ke keyakinan ". Sumber Dana Alat Pengetahuan. Setelah pengetahuan itu sesuatu yang mungkin dan realistis, masalah yang dibahas dalam lliteratur-literatur epistimologi Islam adalah masalah yang berkaitan dengan sumber dan alat pengetahuan. Sesuai dengan hukum kausaliltas bahwa setiap akibat pasti ada sebabnya, maka pengetahuan adalah sesuatu yang sifatnya aksidental -baik menurut teori recolection-nya Plato, teori Aristoteles yang rasionalis-paripatetik, teori iluminasi-nya Suhrawardi, dan filsafat-materialisnya kaum empiris- dan pasti mempunyai sebab atau sumber. Tentu yang dianggap sebagai sumber pengetahuan itu beragam dan berbeda sebagaimana beragam dan berbedanya aliran pemikiran manusia. Selain pengetahuan itu mempunyai sumber, juga seseorang ketika hendak mengadakan kontak dengan sumber-sumber itu, maka dia menggunakan alat.
Para filusuf Islam menyebutkan beberapa sumber dan sekaligus alat pengetahuan, yaitu : Alam tabi'at atau alam fisik Alam Akal Analogi ( Tamtsil) Hati dan Ilham 1. Alam tabi'at atau alam fisik Manusia sebagai wujud yang materi, maka selama di alam materi ini ia tidak akan lepas dari hubungannya dengan materi secara interaktif, dan hubungannya dengan materi menuntutnya untuk menggunakan alat yang sifatnya materi pula, yakni indra (al hiss), karena sesuatu yang materi tidak bisa dirubah menjadi yang tidak materi (inmateri). Contoh yang paling konkrit dari hubungan dengan materi dengan cara yang sifatnya materi pula adalah aktivitas keseharian manusia di dunia ini, sepert makan, minum, hubungan suami istri dan lain sebagianya. Dengan demikian, alam tabi'at yang materi merupakan sumber pengetahuan yang "barangkali" paling awal dan indra merupakan alat untuk berpengetahuan yang sumbernya tabi'at. Tanpa indra manusia tidak dapat mengetahui alam tabi'at. Disebutkan bahwa, barang siapa tidak mempunyai satu indra maka ia tidak akan mengetahui sejumlah pengetahuan.
Dalam filsafat Aristoteles klasik pengetahuan lewat indra termasuk dari enam pengetahuan yang aksioamatis (badihiyyat). Meski indra berperan sangat signifikan dalam berpengetahuan, namun indra hanya sebagai syarat yang lazim bukan syarat yang cukup. Peranan indra hanya memotret realita materi yang sifatnya parsial saja, dan untuk meng-generalisasi-kannya dibutuhkan akal. Malah dalam kajian filsafat Islam yang paling akhir, pengetahuan yang diperoleh melalui indra sebenarnya bukanlah lewat indra. Mereka mengatakan bahwa obyek Pengetahuan (al ma'lum) ada dua macam, yaitu, (1) obyek pengetahuan yang substansial dan (2) obyek,pengetahuan yang aksidental. Yang diketahui secara substansial oleh manusia adalah obyek yang ada dalam benak, sedang realita di luar diketahui olehnya hanya bersifat aksidental.
Menurut pandangan ini, indra hanya merespon saja dari realita luar ke relita dalam. Pandangan Sensualisme (al-hissiyyin). Kaum sensualisme, khususnya John Locke, menganggap bahwa pengetahuan yang sah dan benar hanya lewat indra saja. Mereka mengatakan bahwa otak manusia ketika lahir dalam keadaan kosong dari segala bentuk pengetahuan, kemudian melalui indra realita-realita di luar tertanam dalam benak. Peranan akal hanya dua saja yaitu, menyusun dan memilah, dan meng-generalisasi. Jadi yang paling berperan adalah indra. Pengetahuan yang murni lewat akal tanpa indra tidak ada. Konskuensi dari pandangan ini adalah bahwa realita yang bukan materi atau yang tidak dapat bersentuhan dengan indra, maka tidak dapat diketahui, sehingga pada gilirannya mereka mengingkari hal-hal yang metafisik seperti Tuhan.
Kamis, 02 April 2009
Metafisika
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar